Puluhan ribu pengunjuk rasa pro-Beijing turun ke jalan untuk mendukung para polisi di Hong Kong.
Mereka mengenakan baju berwarna putih dan biru sambil mengibarkan bendera China, mencoba menandingi demonstrasi anti-ekstradisi yang berlangsung sepanjang bulan Juni lalu.
Dua unjuk rasa pemecah rekor digelar untuk menentang RUU Ekstradisi yang rencananya memungkinkan pemerintah mengekstradisi tersangka pelaku kejahatan.
Pada 12 Juni lalu, polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa – aksi kekerasan terburuk di kota tersebut dalam beberada dekade terakhir.
Menteri kehakiman Hong Kong Teresa Cheng lantas melakukan penyelidikan terhadap aksi brutal polisi.
- Unjuk rasa Hong Kong: Aktivis pelajar Joshua Wong serukan pengunduran diri pemimpin Hong Kong
- Unjuk rasa Hong Kong: Apakah demonstrasi akan menghasilkan perubahan?
- ‘Gadis di depan tameng polisi’, perempuan muda yang menjadi simbol perlawanan RUU Ekstradisi Hong Kong
Para demonstran memaksa pemerintah untuk meminta maaf dan menunda rancangan undang-undang tersebut.
Sebesar apa aksi dukungan terhadap polisi?
Media setempat menyebut sekitar 165.000 pengunjuk rasa pro-Beijing memenuhi Taman Tamar hari Minggu (30/6) kemarin.
Angka itu jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pengunjuk rasa yang menentang RUU Ekstradisi – kelompok aktivis mengklaim terdapat dua juta orang terlibat dalam aksi terakhir.
Meski demikian, angka tersebut menunjukkan adanya gerakan pro-Beijing yang signifikan di kawasan tersebut.

“Saya tidak tahan dengan perilaku orang-orang terhadap polisi,” ujar Frances Yu (70 tahun) kepada kantor berita AFP.
Karyawan kantoran berusia 54 tahun bernama Wong juga menyatakan kepada AFP bahwa kepolisian hanya mencoba “menjaga ketertiban”, dan menyebut para pengunjuk rasa anti-ekstradisi “bodoh”.
Beberapa puluh orang juga menggelar unjuk rasa tandingan terhadap mereka yang pro-Beijing di dekat lokasi demonstrasi.
Mengapa orang-orang berunjuk rasa?
Rancangan undang-undang kontroversial tersebut memungkinkan ekstradisi tersangka kasus kejahatan, seperti perkosaan dan pembunuhan, ke China daratan, Taiwan dan Makau.
Hong Kong telah menjadi bagian dari China sejak tahun 1997, di bawah prinsip “satu negara, dua sistem”, yang memungkinkan kebebasannya terlepas dari China daratan, termasuk independensi peradilan.
Namun para pengunjuk rasa khawatir RUU itu dapat membawa Hong Kong ke dalam kontrol pemerintah China.
Setelah RUU itu ditangguhkan, mereka memiliki empat tuntutan dasar:
- penarikan sepenuhnya RUU Ekstradisi
- penarikan istilah “kerusuhan” untuk menggambarkan aksi unjuk rasa pada 12 Juni lalu
- pembebasan seluruh aktivis yang ditahan
- penyelidikan aksi kekerasan yang dilakukan polisi
Joshua Wong, salah satu pemimpin aksi unjuk rasa pro-demokrasi tahun 2014, dibebaskan lebih awal dari penjara pada 17 Juni lalu.
Berbicara kepada pendukungnya dan awak media setelah pembebasannya, ia meminta pemimpin Hong Kong yang disokong Beijing, Carrie Lam, untuk mundur dari jabatannya.
Apakah unjuk rasa anti-ekstradisi masih akan terjadi?
Aksi demonstrasi menentang RUU Ekstradisi rencananya akan digelar hari Senin, agar bertepatan dengan peringatan ke-22 tahun penyerahan Hong Kong ke China.
Kepala sekretaris Hong Kong, Matthew Cheung, telah meminta agar masyarakat tenang.
Dalam unggahan blog yang ditujukan kepada para pengunjuk rasa, ia menuliskan: “Sangat penting untuk memulihkan ketertiban sosial dan ketenangan sesegera mungkin, untuk menstabilkan iklim bisnis dan membawa Hong Kong kembali ke jalurnya.
“Hong Kong adalah rumah saya – Anda dan saya tidaklah berbeda.”
Komentar